Tentang orang yang paling dicintai, dengan cepat saya bisa
menjawabnya yaitu: Ibu atau yang akrab dipanggil Mbok’e oleh semua anak-anaknya. Tentu saja tanpa mengurangi ataupun
mengecilkan rasa sayang dan cinta pada sosok tangguh Bapak ~ Pak’e, demikian
kami memanggilnya. Seperti apakah sosok wanita luar biasa yang akrab aku
panggil Mbok’e tersebut? Bismillahirrahmaanirrahiim
inilah sekilas uraian tentang beliau, karena aku tak
akan mampu menceritakan secara menyeluruh bagaimana dan seberapa luar biasanya Ibu
dalam pandanganku.
Ibu adalah sosok wanita desa yang sederhana yang tidak
pernah mengenyam pendidikan formal karena keterbatasan ekonomi orang tuanya [kakek
dan nenek saya], serta akses/fasilitas pendidikan yang tidak terjangkau dan
limited pada kalangan tertentu. Ibu lahir masih di Jaman penjajahan Belanda, sebagai
anak sulung dari tujuh bersaudara sehingga sehari-harinya digunakan untuk
membantu kedua orang tuanya. Asam garam kehidupan yang dijalani Ibu membuatnya
punya motivasi kuat agar anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan formal. Bukan
hal yang mudah karena untuk membesarkan dan membiayai sembilan (9) orang anak
sedangkan notabene ayahku adalah seorang petani gurem, dimana untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari harus siap kesana kemari jadi jadi buruh tani.
Justru menyadari susahnya hidup menjadi orang yang
tidak sekolah, ibu meyakinkan suaminya agar semua anak-anaknya bisa bersekolah
meski harus hidup tirakat kurang
sandang dan pangan yang penting bisa sekolah: makan seadanya, baju saling
diwariskan ke adiknya dan baru beli jika keadaan sudah tidak mungkin digunakan
lagi dan jangan harap ada uang jajan/saku, untuk bayar SPP saja sering nunggak.
Ibuku juga mendidik kami agar tidak malas bekerja, jika di luar jam sekolah
ibuku mengajak anak-anaknya bekerja di sawah baik di sawah sendiri maupun
bekerja di sawah orang lain. Setiap hari ibuku bangun lebih awal dari seisi
rumah guna menyiapkan makanan dan menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum
berangkat ke sawah membantu Bapak. Malam hari beliau tidur setelah semua isi
rumah tertidur, bahkan makan pun menunggu suami dan anak-anaknya makan, kalau
tidak ada makanan maka ibu pun tidak jadi makan. Beliau benar-benar mengatur
agar bisa berhemat sehingga kami bisa tetap bersekolah.
Hingga pada suatu ketika ada tetangga yang menyindir
ibu kenapa ngoyo nyekolahin anak sampai dibelain gali lubang tutup lubang
(hutang sana sini) wong dasar orang miskin saja, apalagi anak yang perempuan
yang kodratnya paling-paling ya di dapur? Saya tau hati ibuku pasti sakit dan
sedih banget kala itu, tapi anak-ananya Ibu selalu bilang: ”justru karena
miskin maka aku ingin anak-anakku sekolah karena pendidikanlah yang bisa jadi
warisan tak ada habisnya”
Ibuku juga tidak mengerti apa teori dan arti demokrasi
tapi sikap dan perkataan beliau adalah perwujudan nilai-nilai demokratis.
Beliau tidak pernah membatasi atau menginginkan anak-anaknya berkarir dalam
bidang tertentu, yang penting halal dan mencukupi. Tentang jodoh, Ibuku hanya
bilang yang penting seiman, beda suku, beda jenjang pendidikan, beda status
sosial....tidak masalah yang penting serius untuk berkeluarga. Bahkan ketika
kakak perempuanku di tinggal selingkuh suaminya, Ibuku dengan tegas dan tegar
bilang: ”suatu hari dia (kakak iparku) akan melihat bahwa kamu bisa hidup
dengan bahagia bersama anakmu, biarkan dia pergi kalau memang sudah tidak mungkin
di pertahankan lagi”.
Aku belajar banyak hal dari ibuku, tidak ada yang bisa
kita dapatkan tanpa kerja keras dan usaha, bahwa sesulit apapun kita tidak
boleh menyerah pada keadaan. Satu lagi wejangan yang tak mungkin aku lupakan
dari ibuku yaitu tentang kemampuan dan kebutuhan, jika kita membutuhkan sesuatu
tapi belum mampu maka tetaplah berusaha. Dan jika kita mampu untuk mendapatkan
sesuatu tapi belum membutuhkan sebaiknya jangan diikuti karena akan ada
kebutuhan lain esok hari yang lebih penting. “ Ujian tak akan pernah ada
hentinya menyapa kehidupan, tapi hal itu jangan pernah membuatmu berhenti
menyambut setiap ujian yang datang “.
Bara
Cinta yang berasap rindu mengudara
menggelombang
pada semesta kasih sayangmu
pada
tarian asa dalam ruang nurani,
impianmu
mengalun bagai tetes hujan
Untuk
nama dihati yang tak akan pudar
Dengan
kenangan-kenangan merantai rasa
Inginku
tetap dalam dekap ajaib yang bergelora
dan mengampuni
Yang
tak kenal sesal untuk semua yang terberikan
Pada
udara yang setia mengalirkan partikel-partikelnya
Ketika
langit menghampirkan bintang gemintang
Kuhamburkan
untaian doa pada himne malam yang sacral
Untuk
cinta tanpa penjelasan dari nadi ayah bunda
Terlampirkan kembali puisi di atas sebagai sebentuk
apresiasi rasa cinta tak terdefinisikan teruntuk
Ibuku, yang setitik pun curahan pengorbanan, perhatian, kasih dan sayangnya tak
akan mungkin bisa aku balas. Sungkem bakti dan sayang buat ibuku, maafkan
ananda jika sampai sekarang di usia senja Ibu, ananda masih membuat risau dan
resah.